Apa itu Exposure Therapy?
“Exposure therapy adalah prosedur perilaku tunggal yang dapat
digunakan untuk individu dengan gangguan yang berkaitan dengan kegelisahan dan kekhawatiran.
Namun, keduanya menambahkan bahwa penggunaan exposure sebagai satu-satunya prosedur penanganan tidak selalu
memadai.”
(Spiegler
& Guevremont, 2003)
Exposure
therapy adalah suatu teknik terapi yang berawal dari studi
yang dilakukan oleh Masserman terhadap kucing. Exposure therapy merupakan suatu jenis terapi dimana individu/
klien yang memiliki gangguan seperti fobia atau kecemasan yang berlebih akan dihadapkan
langsung pada situasi yang membuatnya tidak nyaman. Sebelum dihadapkan langsung
pada hal yang ditakuti atau yang paling dapat menimbulkan kecemasan, biasanya
terapis akan meminta klien untuk melakukan relaksasi terlebih dahulu. Sebab, kondisi
klien yang tenang dan rileks dapat membuatnya mampu menerapkan alternatif pemikiran
yang lebih positif dan rasional. Secara umum,
exposure therapy dibagi menjadi
dua yakni klien dapat dihadapkan secara langsung (in vivo) pada hal yang dapat menimbulkan kecemasan atau dengan cara
membayangkan (in imagino).
Exposure
therapy yang dilakukan terus-menerus secara efektif dapat
mengurangi kegelisahan/ kecemasan klien. Exposure
therapy bertujuan untuk menangani ketakutan
dan respon emosi negatif yang timbul pada diri klien dengan mengenalkan klien
pada kondisi-kondisi yang dapat memunculkan kecemasan mereka namun tetap pada kondisi
yang terkontrol oleh terapis. Ketika individu takut/ memiliki kecemasan yang
berlebih ketika menghadapi sesuatu, mereka akan menghindari benda atau situasi
tersebut. Perlu diketahui bahwa perilaku ‘menghindari’ tersebut dapat membantu mengurangi
rasa takut hanya dalam jangka pendek, dan justru dapat memperburuk rasa takut
tersebut dalam jangka panjang.
Metode yang
digunakan pada exposure therapy adalah
dengan klien ditunjukkan pada situasi yang ditakutinya dengan harapan akan muncul
kemampuan menghadapi respon (coping).
Dalam hal ini, klien diharapkan dapat menciptakan strategi coping nya sendiri dimana strategi coping tersebut dapat dipakai untuk mengontrol situasi, diri
sendiri dan hal-hal lain untuk mencegah timbulnya kecemasan. Bahkan, beberapa
psikolog berasumsi bahwa exposure therapy terbukti menjadi jenis terapi
yang berhasil dalam membantu klien dengan berbagai masalah, seperti fobia, panic disorder, social anxiety disorder,
obsessive-compulsive disorder, PTSD, dan generalized anxiety disorder.
Bentuk-bentuk
Exposure Therapy
1.
In vivo exposure
therapy
Adalah jenis terapi exposure dimana klien menghadapi hal
yang ditakutinya secara langsung dalam kehidupan nyata. Seperti, individu yang
memiliki generalized anxiety disorder
mungkin sengaja diminta oleh terapis untuk memberikan pidato di depan umum.
2.
Imaginal exposure
therapy
Adalah jenis terapi exposure dimana terapis meminta klien
untuk membayangkan apa yang ditakutinya. Misalnya, individu yang memiliki PTSD akan diminta oleh terapis untuk
mengingat kembali pengalaman traumatis yang pernah dialaminya untuk mengurangi
perasaan takut.
3.
Virtual
reality exposure therapy
Virtual
reality merupakan bentuk teknologi yang dapat digunakan
apabila in vivo exposure therapy tidak praktis.
4.
Introceptive exposure therapy
Adalah jenis terapi paparan
dimana terapis sengaja membawa klien untuk merasakan sensasi fisik yang tidak
berbahaya, namun mampu memunculkan rasa kekhawatiran yang berlebih.
Ilustrasi
Exposure Therapy
Misalnya,
terdapat seorang klien yang mengaku memiliki ketakutan terhadap darah. Terapis
kemudian memintanya untuk relaksasi terlebih dahulu, mencoba membuat klien
menjadi tenang jauh sebelum dilakukan exposure
therapy. Setelah itu, terapis mencoba
untuk mengetahui seberapa parah phobia
yang dialami klien dengan mengembangkan daftar situasi yang bervariasi berkaitan
dengan darah untuk mengetahui seberapa besar tingkat kecemasan klien. Daftar
hierarki untuk klien yang memiliki specific
phobia terhadap darah sebagai berikut :
Ø Mendengar
kata darah
Ø Membayangkan
darah
Ø Melihat
cairan berwarna merah (seperti darah)
Ø Melihat
foto darah
Ø Menonton
televisi yang menampilkan gambar darah
Ø Melihat
darah secara langsung dari jarak jauh
Ø Melihat
darah secara langsung dari jarak sangat dekat
DAFTAR PUSTAKA
Semiun,
Y. (2006). Kesehatan mental 2.
Yogyakarta: Kanisius
Slamet,
I.S.S., Markam, S. (2007). Pengantar
psikologi klinis. Jakarta: UI-Press.
No comments:
Post a Comment