animasi blog

Saturday 15 July 2017

Exposure Therapy (Teori) - PSIKOTERAPI


Apa itu Exposure Therapy?
Exposure therapy adalah prosedur perilaku tunggal yang dapat digunakan untuk individu dengan gangguan yang berkaitan dengan kegelisahan dan kekhawatiran. Namun, keduanya menambahkan bahwa penggunaan exposure sebagai satu-satunya prosedur penanganan tidak selalu memadai.”
(Spiegler & Guevremont, 2003)

Exposure therapy adalah suatu teknik terapi yang berawal dari studi yang dilakukan oleh Masserman terhadap kucing. Exposure therapy merupakan suatu jenis terapi dimana individu/ klien yang memiliki gangguan seperti fobia atau kecemasan yang berlebih akan dihadapkan langsung pada situasi yang membuatnya tidak nyaman. Sebelum dihadapkan langsung pada hal yang ditakuti atau yang paling dapat menimbulkan kecemasan, biasanya terapis akan meminta klien untuk melakukan relaksasi terlebih dahulu. Sebab, kondisi klien yang tenang dan rileks dapat membuatnya mampu menerapkan alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional. Secara umum, exposure therapy dibagi menjadi dua yakni klien dapat dihadapkan secara langsung (in vivo) pada hal yang dapat menimbulkan kecemasan atau dengan cara membayangkan (in imagino).
Exposure therapy yang dilakukan terus-menerus secara efektif dapat mengurangi kegelisahan/ kecemasan klien. Exposure therapy bertujuan untuk menangani ketakutan dan respon emosi negatif yang timbul pada diri klien dengan mengenalkan klien pada kondisi-kondisi yang dapat memunculkan kecemasan mereka namun tetap pada kondisi yang terkontrol oleh terapis. Ketika individu takut/ memiliki kecemasan yang berlebih ketika menghadapi sesuatu, mereka akan menghindari benda atau situasi tersebut. Perlu diketahui bahwa perilaku ‘menghindari’ tersebut dapat membantu mengurangi rasa takut hanya dalam jangka pendek, dan justru dapat memperburuk rasa takut tersebut dalam jangka panjang.
Metode yang digunakan pada exposure therapy adalah dengan klien ditunjukkan pada situasi yang ditakutinya dengan harapan akan muncul kemampuan menghadapi respon (coping). Dalam hal ini, klien diharapkan dapat menciptakan strategi coping nya sendiri dimana strategi coping tersebut dapat dipakai untuk mengontrol situasi, diri sendiri dan hal-hal lain untuk mencegah timbulnya kecemasan. Bahkan, beberapa psikolog berasumsi bahwa exposure therapy terbukti menjadi jenis terapi yang berhasil dalam membantu klien dengan berbagai masalah, seperti fobia, panic disorder, social anxiety disorder, obsessive-compulsive disorder, PTSD, dan generalized anxiety disorder.

Bentuk-bentuk Exposure Therapy
1.             In vivo exposure therapy
Adalah jenis terapi exposure dimana klien menghadapi hal yang ditakutinya secara langsung dalam kehidupan nyata. Seperti, individu yang memiliki generalized anxiety disorder mungkin sengaja diminta oleh terapis untuk memberikan pidato di depan umum.
2.             Imaginal exposure therapy
Adalah jenis terapi exposure dimana terapis meminta klien untuk membayangkan apa yang ditakutinya. Misalnya, individu yang memiliki PTSD akan diminta oleh terapis untuk mengingat kembali pengalaman traumatis yang pernah dialaminya untuk mengurangi perasaan takut.
3.             Virtual reality exposure therapy
Virtual reality merupakan bentuk teknologi yang dapat digunakan apabila in vivo exposure therapy tidak praktis.
4.             Introceptive exposure therapy
Adalah jenis terapi paparan dimana terapis sengaja membawa klien untuk merasakan sensasi fisik yang tidak berbahaya, namun mampu memunculkan rasa kekhawatiran yang berlebih.

Ilustrasi Exposure Therapy
Misalnya, terdapat seorang klien yang mengaku memiliki ketakutan terhadap darah. Terapis kemudian memintanya untuk relaksasi terlebih dahulu, mencoba membuat klien menjadi tenang jauh sebelum dilakukan exposure therapy. Setelah itu, terapis mencoba untuk mengetahui seberapa parah phobia yang dialami klien dengan mengembangkan daftar situasi yang bervariasi berkaitan dengan darah untuk mengetahui seberapa besar tingkat kecemasan klien. Daftar hierarki untuk klien yang memiliki specific phobia terhadap darah sebagai berikut :
Ø   Mendengar kata darah
Ø   Membayangkan darah
Ø   Melihat cairan berwarna merah (seperti darah)
Ø   Melihat foto darah
Ø   Menonton televisi yang menampilkan gambar darah
Ø   Melihat darah secara langsung dari jarak jauh
Ø   Melihat darah secara langsung dari jarak sangat dekat

DAFTAR PUSTAKA
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 2. Yogyakarta: Kanisius
Slamet, I.S.S., Markam, S. (2007). Pengantar psikologi klinis. Jakarta: UI-Press.


No comments:

Post a Comment